Rabu, 21 Agustus 2013

Menagih Hutang dengan Etika vs Debt Collector

Menagih Hutang dengan Etika vs Debt Collector



Menyikapi pro dan kontra soal keberadaan debt collector, nampaknya perlu ditelusuri duduk persoalannya. Masalahnya, hingga kini belum diperoleh jalan terbaik bagi yang bersengketa. Dengan semakin menjamurnya berbagai bentuk transaksi bisnis yang melibatkan pihak seperti perusahaan maupun individu, tentu harus dipersiapkan perangkat peraturan untuk menghindari kerugian di salah satu pihak. Secara umum, persoalan debt collector akan mencuat mengiringi terjadinya kasus penunggakan pembayaran. Khusus pada pengguna kartu kredit, jumlah pengaduan mereka tentang ulah debt collector sangat mendominasi.

Memang ada beberapa alasan mengapa sebuah perusahaan menggunakan jasa debt collector untuk menarik piutang tak tertagih. Seperti yang diungkapkan kepala cabang sebuah lembaga pembiayaan kredit resmi untuk sebuah merek sepeda motor Jepang di Jakarta yang enggan disebut identitasnya. Menurutnya, salah satu alasannya adalah perlunya penanganan khusus dari penyedia jasa debt collector yang profesional terhadap nasabah yang menunggak. Hal itu memang tak bisa dielakkan karena pilihan menggunakan debt collector menjadi pilihan terakhir. Memang ada jalan lain seperti melalui pengadilan, namun selain memerlukan waktu yang panjang, juga ada biaya tambahan yang terkadang justru tak sebanding dengan hasilnya. “Walau jumlahnya hanya sekitar 5% dari total tunggakan, namun bisa dijadikan shock therapy bagi penunggak lainnya. Prosedur harus tetap dilakukan seperti memeriksa keberadaan nasabah, ijin kepada lingkungan rumah atau kantor (RT/RW atau manajemen kantor), bahkan ijin dari pihak kepolisian jika memang diperlukan,” tambahnya.

Dalam melakukan penagihan kredit macet, debt collector tidak jarang atau seringkali menteror, mengintimidasi, atau mengancam pihak penanggung utang. Cara yang demikian merupakan perbuatan yang berlawanan dengan hukum dan dapat menurunkan citra perusahaan yang diwakili debt collector. Hal itu diungkapkan oleh mantan Direktur Keuangan Perum Pegadaian Syamsir Kadir. “Sudah sewajarnya jika dalam melakukan penagihan, debt collector dapat bertindak lebih profesional dengan cara-cara yang lebih etis dan tidak berlawanan dengan hukum,” ujar Syamsir Kadir kepada penulis.

Sekedar catatan saja, diperkirakan sekitar 75% perbankan swasta menggunakan jasa debt collector untuk menagih kredit mereka yang macet. Penyebabnya antara lain tidak bekerjanya sarana-sarana hukum dan hukum dianggap tidak bekerja efektif dan efisien. Penyebab lainnya adalah bertele-telenya proses penegakan hukum yang selama ini lebih sering mengecewakan masyarakat. Apalagi ditambah dengan ketidakmampuan pengadilan memberikan jaminan kepastian hukum dan berjalan singkat. Sementara di sisi lain, kemampuan debt collector pun dianggap sebagai “partner” yang lebih baik karena mampu bekerja dalam waktu yang relatif lebih singkat dengan tingkat keberhasilannya mencapai 90%.

Masalahnya, hingga tahun 2005 lalu belum ada batasan dan aturan yang jelas tentang tata cara penagihan oleh seorang debt collector.  Namun, kini titik terangnya sudah semakin jelas. Terutama sejak digulirkannya Lembaga Mediasi Perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI). Lembaga Mediasi Perbankan ini telah disosialisasikan melalui Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006, Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, dan Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

Sarana mediasi ini memang tidak hanya ditujukan untuk persoalan kartu kredit saja, namun secara umum akan membantu persoalan transaksi keuangan. BI menjamin bahwa proses mediasi ini berlangsung sederhana, murah dan cepat. Penyelesaian melalui proses mediasi oleh lembaga yang bersifat independen dinilai berbagai kalangan menjadi langkah positif dengan prinsip win-win solution. Artinya, proses yang ditempuh akan jauh lebih efisien dan efektif daripada harus melalui pengadilan. Lembaga Mediasi Perbankan tersebut dapat berbentuk perkumpulan badan hukum atau yayasan seperti yang banyak disarankan oleh kalangan pakar hukum. Dan yang lebih penting, Lembaga Mediasi Perbankan harus bersifat independen atau tidak tunduk serta bebas dari intervensi para pendiri, BI, atau dari pihak manapun. Namun demikian, walau pedoman dan kode etiknya telah disusun BI, tetapi untuk mediatornya ditentukan sendiri oleh lembaga tersebut, Lembaga itu berperan dalam penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank dibantu oleh mediator. Dengan memanggil, mempertemukan, serta memotivasi kedua belah pihak, diharapkan akan terjadi proses untuk menyelesaikan persoalan hingga mencapai kesepakatan. Penyelesaiannya pun akan menguntungkan kedua pihak yang bersengketa, sehingga tidak ada pihak yang menang atau kalah.

Berbeda dengan penyelesaian melalui pengadilan yang sifatnya terbuka, maka semua informasi dari kedua pihak bersifat tertutup jika diselesaikan lewat lembaga mediasi perbankan, termasuk semua bentuk komunikasi, negosiasi, dan pernyataan selama proses mediasi berlangsung. Hanya saja, sayangnya putusan mediasi tidak memiliki kekuatan yang sama seperti putusan pengadilan dan tidak dapat diajukan banding. Secara komprehensif, implementasi lembaga mediasi perbankan sudah mampu menunjukkan ke arah penyelesaian masalah dengan lebih baik, meskipun masih mengganjal pada persoalan kepastian payung hukumnya. Ujung-ujungnya, memang tidak ada hukum yang mengikat keputusan yang diambil di lembaga mediasi tersebut.

Dengan keberadaan Lembaga Mediasi Perbankan tersebut, tentu saja tidak secara otomatis menutup peluang digunakannya jasa debt collector. Artinya, debt collector maupun perusahaan yang diwakilinya akan lebih tertantang untuk lebih menjunjung etika dalam bisnis mereka dan memperhatikan hak-hak konsumen atau pihak tertagih. Dan pada akhirnya, menggunakan Lembaga Mediasi Perbankan atau jasa debt collector adalah sebuah pilihan. Untuk masa mendatang, keluhan berupa teror, intimidasi, atau ancaman dalam proses penagihan yang kerap dilakukan oleh debt collector bisa saja akan semakin berkurang, seiring dengan langkah penyelesaian yang semakin elegan dan cara menagih hutang yang lebih beretika. Tapi mungkinkah?

Dasar Hukum Adanya Debt Collector

Adakah dasar hukum debt collector  ? Apa sanksi bagi debt collector yang sering menagih lewat telepon maupun secara langsung dengan mengucapkan sumpah serapah dan kata-kata kasar lainnya, padahal yang ditagih telah melakukan kewajibannya dengan tepat waktu ?

Tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai penagih utang atau debt collector ini. Debt collector pada prinsipnya bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan oleh kreditur untuk menagih utang kepada debiturnya.  Perjanjian pemberian kuasa diatur dalam KUHPerdata.

Khusus di bidang perbankan, memang ada peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pihak bank untuk menggunakan jasa pihak lain untuk menagih utang. Hal tersebut diatur dalam PBI No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (“PBI”) jo SE BI No. 11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat  Pembayaran dengan Menggunakan Kartu tanggal 13 April 2009 (“SEBI”). Dalam PBI dan SEBI ini, diatur bahwa:

  1. Dalam hal bank menggunakan jasa pihak lain untuk melakukan penagihan, maka hal ini wajib diberitahukan kepada pemegang Kartu ;
  2. Bank wajib memastikan bahwa tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan oleh pihak lain tersebut sesuai dengan tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh bank itu sendiri ;
  3. Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet ;
  4. Bank harus menjamin bahwa penagihan dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum ;
  5. Perjanjian kerjasama antara bank dan pihak lain untuk melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit tersebut harus memuat klausula tentang tanggung jawab bank terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerjasama dengan pihak lain tersebut.

Kalau merujuk pada ketentuan-ketentuan KUHP, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh debt collector bisa dijerat hukum. Dalam hal debt collector tersebut menggunakan kata-kata kasar dan dilakukan di depan umum, maka ia bisa dipidana dengan pasal penghinaan, yaitu pasal 310 KUHP:

Barangsiapa merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4500 ”

Selain itu, bisa juga digunakan pasal 335 ayat (1) KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan:

“Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp.4500 barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”


Dasar hukum:
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732)
  2. Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
  3. Surat Edaran BI No. 11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu tanggal 13 April 2009

Komunitas Debt Colector :

  1. Yoyarib Mau. Komunitas ini menarik untuk disimak karena pada hakekatnya komunitas ini diperlukan tetapi juga ditolak oleh masyarakat. Komunitas ini memiliki nama yang cukup beragam ada yang menyebut mereka preman, tukang tagih, penjaga tanah kosong, tukang pukul, pengaman dan lain sebagainya tergantung permasalahan yang dijalankan, namun mereka merasa aman dan supaya dapat di terima di tengah masyarakat mereka lebih memilih untuk di sebut “Debit Colector” hal ini bertujuan bahwa mereka professional dan dimata masyarakat mereka memiliki pekerjaan jelas. Komunitas ini tersebar hampir di seluruh daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi dan Tanggerang, dan kebanyakan mereka berasal dari luar daerah seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Kehidupan berkelompok merupakan ciri utama kehidupan sosialnya, apabila semakin banyak komunitas ini mereka akan membela diri lagi dalam komunitas-komunitas tertentu berdasarkan bahasa dan suku dan Agama ataupun sekampung berdasarkan jumlahnya biasanya satu keolompok kecil terdiri dari 10-20 orang. 
  2. Ada kelompok Maluku yang terbagi menjadi Kelompok Basri Sangaji (kelompok yang kebanyakan beragama Islam) dan juga ada Jhon Kei (kata “Kei” menunjukan bahwa ia berasal dari Maluku Tenggara dimana beribukota Kei dan mereka kebanyakan beragama Kristen dan berasal dari kota Ambon dan Kei).
  3. Kelompok NTT hanya membela diri dalam komunitas Flores dan Timor, namun mereka semua tunduk kepada tokoh senior yang memiliki nama besar yakni Hercules.
  4. Kelompok Papua,  mereka kebanyakan penerus dari kelompok Yoris Raweyai yang kini telah menjadi anggota DPR RI. 


Kelompok Debet Kolektor yang kebanyakan dari Indonesia Timur tidak menggunakan nama daerah karena sensitive dan dapat menimbulkan konflik SARA. mereka lebih menggunakan nama kelompok sesuai dengan Tokoh atau Pribadi yang memiliki nama yang dituakan sebagai pemimpin dan biasanya akan dipanggil Bung….. Si Bung biasanya sudah hidup lebih lama Jakarta dan memiliki jaringan luas/kenalan yang biasanya memberikan order pekerjaan, Tokoh atau Pribadi tersebut minimal memiliki kendaraan beroda dua, nama Si Bung inilah yang dijadikan nama kelompok ini sebagai identitas kelompok. Namun dalam perkembangan ada juga Bung yang lain mencoba membangun pemikiran baru terhadap Debit Colllector ini dengan Manajemen Baru dengan membuat Perseroan Terbatas yang bergerak dalam jasa penagihan, dan Beliau sukses membuka tempat usahanya ini di beberapa tempat di Jawa, mungkin karena manajemen modern serta kepercayaan perbankan kepada dirinya.  Peranan Si Bung sangat penting dalam kelompok, jika seseorang yang sudah punya jaringan atau patron yang banyak namun jika tidak memiliki anggota maka ia tidak dapat memperoleh keuntungan lebih karena ia tetap akan bergabung dengan kelompok tertentu. Seseorang yang telah mendapatkan panggilan Bung, karena hal ini menyangkut prestise dan mungkin saja jenjang karier di kalangan mereka, sehingga ia harus melakukan perekrutan anggota dengan menjemput teman, saudaranya dari daerah asalnya, dengan alasan bahwa mereka akan dipekerjakan di Jakarta, karena tampilan Jakarta di layar Televisi sebagai kota besar sering menarik hati semua orang, apalagi mereka yang di rekrut biasanya dari Kampung yang mengalami kesulitan ekonomi di tambah lagi dengan kondisi wilayah Indonesia Timur yang kondisi ekonomi sangat minim karena lapangan pekerjaan yang sangat terbatas sehingga tidak sulit bagi perekrut untuk menggugah hati mereka. Si Bung juga yang betanggung jawab atas kebutuhan hidup mereka terutama makan dan minum.

Sambil menanti orderan pekerjaan tagihan, mereka dilatih sebagai petinju dan sasana latihan hampir ada di tempat mereka tinggal (tanah sengketa) dan yang menjadi alasan mereka tertarik karena akan tampil di acara Tinju Profesional yang ditampilkan atau disiarkan di stasiun Televisi seperti Indosiar dan TVRI. Mereka pada dasarnya penuh semangat karena akan tampil di Televisi yang akan di saksikan oleh keluargnya di kampung. Padahal maksud tersembunyi di balik itu agar membentuk fisik dan bentuk tubuh yang ideal sebagai seorang Debit Kolektor, saat tampil di ring tinju mereka akan memakai nama asli dan akan ditambahkan dengan nama belakang dengan nama daerah asalnya seperti; Jhon Timor dan sebaginya (Timor menunjukan bahwa ia berasal dari Pulau Timor).

Mengenal para debit colectore tidak lah sulit yang pasti selain cirri-ciri fisik yang kebanyakan berkulit hitam dengan kepala plontos atau rambut di lepas seperti potongan rambut Tokoh Pemuda Pro Integrasi dari Timor Leste Eurico Guiteres. Ada fashion dan aksesors khusus yang dikenakan seperti, Jaket Kulit Hitam, Sepatu Kulit Vantofel, Rantai leher yang terbuat dari besi Putih dengan mata rantai yang berbentuk Salib bagi yang beragama Kristen sedangkan Islam dengan symbol Islam atau bentuk aksesoris lainya, gelang tangan yang terbuat dari besi putih, menarik bahwa mata rantai atau hiasan salib yang di gantung di rantai leher tersebut berukuran cukup besar mulai dari 5 cm – 10 cm. hal ini untuk menunjukan bahwa mereka memiliki dan menganut agama yang diakui dalam Negara ini. Kehidupan keagamaan mereka cukup baik mereka tetap akan beribadah pada jam ibadah bahkan mereka membentuk Persekutuan Doa atau kelompok Ibadah khsusus untuk komunitas mereka. Hal ini menunjukan bahwa mereka pun memiliki harapan untuk mendapatkan berkat atau Rezeki dari jasa yang mereka kerjakan.

Jenis Pekerjaan yang di kerjakan oleh kelompok ini sangat beragam yakni ;
  1. Jasa penagihan Hutang Perusahaan kepada Perusahaan lain
  2. Jasa penagihan Hutang Perusahaan kepada Perorangan 
  3. Jasa Penagihan Hutang Perorangan Kepada Perusahaan 
  4. Jasa Penagihn Hutang Perorangan Kepada Orang Lain 
  5. Jasa Pengamanan Perusahaan 
  6. Jasa Pengamanan Aset  
  7. Jasa Pengamanan Pribadi (Body Guard) 
  8. Jasa Pengamanan Event 
  9. Jasa Pengamanan Pengalihan Lahan atau Eksekusi Lahan.
Jasa ini terkadang di bentuk dalam sebuah perusahan jasa, tetapi kebanyakan di bawah koordinasi Si Bung yang memiliki jaringan dengan para konglomerat ataupun para Advocat yang menangani perkara sengketa atau utang-piutang ini.

Menarik dalam perkembangan kini Si Bung juga sudah mulai membenahi diri dengan pendidikan Hukum alias Kuliah Ilmu hukum biasanya kelas malam atau eksekutif sabtu-minggu di universitas seperti Universitas Bung Karno, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Gotong Royong dan lainnya. Dengan perhitungan apabila ia sudah selesai ia dapat bergabung di kantor Advocat tertentu dan memiliki massa apabila ada eksekusi lahan atau rumah maka tidak perlu lagi mencari orang, bahkan mereka dapat tinggal di lahan atau rumah yang dalam masa sengketa atau proses pengadilan.

Hampir di semua lahan kosong di Jakarta yang dalam proses pengadilan di didiami oleh komunitas ini, tetapi tidak hanya melakukan pekerjaan itu saja tetapi mereka biasanya melakukan perkerjaan lain atau menerima jasa lain seperti penagihan hutang dari bank-bank swasta dan negeri. Dengan satu tujuan mengumpulkan uang sebanyaknya untuk dapat mengirimkan uang ke kampong halaman bagi orang tua.

Dalam melakukan penagihan mereka memiliki cara-cara baku dalam tahap-tahap tertentu ketika mereka mendapatkan orderan penagihan ada proses tawar menawar harga melalui proses perhitungan yang matang jika ada uang operasional yang ditanggung dari pemberi order berarti komisi dari jumlah penagihan berkisar 20-25% menjadi milik Penagih, pemberian 5% untuk Si Bung. Tetapi apabila tidak ada uang opeasional dari yang punya orderan maka komisi dan uang operasional diambil dari hasil tagihan yang berkisar 30- 35%. Sedangkan untuk jasa pengalihan lahan biasanya perhitungan harian dimana sehari Rp.50.000 - Rp. 100.000 tergantung berat ringannya kasus karena mengyangkut taruhan nyawa. Apabila telah ada kesepakatan antara yang punya Hutang atau yang punya lahan mereka atau komunitas ini hanya memohon Surat Kuasa sebagai legalitas dan foto kopi surat-surat hutang-piutang, atau bukti-bukti transaksi lainya. Hal ini sebagai kekuatan baginya untuk melakukan pekerjaan ini.  Cara kerja Debt Collector melalui proses dan jenjang dari sopan hingga batas tolerir yakni; Debt Collector datang ke rumah tagih secara sopan dan baik-baik terus menetapkan tanggal bayar, pada tanggal jatuh tempo tersebut mereka akan kembali hadir namun mereka sudah melaporkan diri ke polsek terdekat serta RT/RW dimana rumah tagih itu ada, apabila belum dilakukan pembayaran mereka akan menunggu di rumah tagih tesebut, apabila yang bersangkutan tidak ada mereka akan menelpon dan menggertak bahkan mereka akan datang ke tempat kerja dari si penghutang hingga mendapatkan kesepakatan tertentu tetapi apabila tidak ada kesepakatan maka para Debt Collector akan mengambil barang-barang berharga tertentu yang senilai dengan jumlah hutang tersebut, apabila telah di lakukan pelunasan maka barang jaminan akan di kembalikan.

Sikap inilah yang dianggap oleh para Penghutang bahwa sangat meresahkan dan dianggab sebagai sikap premanisme namun komunitas ini menolak untuk di katakan sebagai preman karena mereka memiliki Surat Kuasa sebagai legalitas atau dasar hukum untuk melakukan tugas atau jasa ini. Dan bahkan masyarakat memohon kepada Kapolri waktu itu Sutanto memberlakukan program penumpasan Premanisme di Indonesia banyak orang berharap agar bukan saja premanisme jalanan dan konvensional yang di tumpas tetapi mereka menggeneralisir agar komunitas ini pun ikut di tumpas. Pemikiran ini sebenarnya sangat keliru karena jasa komunitas ini pun membantu pihak bank-bank baik itu swasta maupun Negara sehingga peran mereka sebenarnya tidak salah tetapi sebaiknya diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang jasa penagihan karena hal ini menyangkut sistim perbankan yang ada di dalam Negara kita, sehingga tidak dapat di salahkan apabila komunitas ini ada karena mereka mampu melihat peluang atau menciptakan peluang kerja guna mengatasi problem lapangan kerja baru. Debt Collector bukanlah sebuah kutukan tetapi ini adalah peluang sesuai dengan karakter diri dimana mungkin alam dan kondisi geografis di Indonesia Timur yang sangat kompleks permasalahan nya dimana dengan kekuatan fisik untuk mendapatkan uang atau makanan sehingga Komunitas ini tertarik dengan profesi ini karena dengan kekuatan fisik dapat menghasilkan uang namun sangat menggiurkan karena dapat memperoleh komisi dalam jumlah yang besar.

Hal lain yang turut mendorong adalah pembangunan yang hanya terkonsentrasi di wilayah Barat Indonesia menyebabkan kamajuan dan perputaran uang ada di Kota di Wilayah Barat Indonesia hal inilah yang menjadi daya tarik bagi komunitas ini untuk mengadu nasib di Jakarta dan kota lainnya, di perhadapkan lagi dengan pendidikan yang kurang memadai membuat peluang untuk mendapatkan pekerjaan lain sangat kecil sehingga apa boleh buat profesi yang mudah dan tidak sulit untuk di kerjakan adalah bergabung dengan komunitas Debt Collector.
Solusi yang perlu dilakukan pemerintah dalam hal ini anggota legislative adalah membuat Undang-Undang yang mengatur tentang Jasa penagihan dan pengamanan, mensahkan jasa penagihan sebagai salah satu profesi yang dapat diakui oleh masyarakat luas, dan diatur bagaimana komunitas atau seseorang dapat melakukan jasa ini dengan memiliki sertifikasi melalui pelatihan-pelatihan tertentu sehingga komunitas ini memiliki keahlian sebagai seorang tenaga atau profesi jasa penagihan atau pengamanan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar